KERINCI-Sistem adat Kerinci tidak bisa di didikotomikan (dipisah) dengan hukum Syara’, hal ini sesuai dengan falsafah adat masyarakat Kerinci yang menyatakan: Adat bersendi syara’, syara’ Basendi Kitabullah, kalimat ini secara terminologi merujuk pada arti kebiasaan atau perilaku dan sikap masyarakat Kerinci harus serasi dengan nilai yang terdapat dalam agama Islam.
Syara’ adalah sesuatu yang berkaitan dengan agama sedangkan kitabullah adalah Al-Qur’an, sehingga makna dari adat basendi syara’, syara’ basendi kitabullah memiliki pengertian segala sesuatu yang berkaitan dengan adat harus sejalan dengan agama yang merujuk kepada sumber ajaran Islam. Sendi bisa diartikan sebagai dasar, landasan ataupun pondasi.
Dalam seluko adat lainnya juga mengatkan bahwa “Adat ngimak ke lakang, syara’ ngima kamuko”. adat bapakaian, syara’ batelanjang” maksudnya adalah adat melihat contoh yang telah sudah dari berbagai kebiasaan masyarkat, sedangkan syara’ berbicara tentang kebaikan sekarang dan kebaikan yang akan datang. Makna seluko yang kedua yaitu adat memiliki basa-basi, sementara syara’ jelas mengatakan yang hak adalah hak yang batil adalah batil tanpa ditutup-tutupi.
Dalam pelaksanaannya seluko adat yang menyatakan Syara ngato adat makai, mengandung penegertian adat harus mengikuti hukum Syara’, bukannya hukum Syara’ yang mengikuti hukum adat. Bak seluko adat mengatakan: Cupak berisi lembago penuh, undang-undang mengisi kehendak, bak kain pemabalut tubuh perlu dipakai tak boleh tidak. Artinya: adat dan syara’ di Kerinci adalah dua hal yang mutlak yang harus kita lakukan. (Buya Nahril BA,DPT:2016). 22/3/18 (OS)