SUNGAI TUTUNG, Kamis 28 September 2017 bak petir di siang bolong, bak siang tak bermatahari, Kabar duka menghantam anak manusia yang tak berdaya.
Mengenang kisah duka, seperti hari biasanya, hadir di Sekretariat jalan M.Yamin no 06 Sungai Penuh untuk bertemu kawan sejalan, rekan se iring tunaikan kewajiban di lantai 1 sebagai relawan Indo Barometer.
Seperti hari biasanya, rutinitas terpusat pada strategi pemenengan H. Tafyani Kasim Bakal Calon Bupati Kerinci Kala itu, Setelah makan siang Mamanda Jafrial,DPT mengatakan ada kejadian di Desa, Sayapun bergegas pulang dihantarkan oleh Andre yang kebutalan sedang sibuk mengurus acara di Kecamatan Depati VII.
Tiba di Rumah pandangan mata menampakkan sesak, seorang wanita lemas tak berdaya terbaring lemas tak sadarkan diri. Tetangga memenuhi rumah guna memberikan pertolongan. Jantung seperti mau lepas melihat pemandangan dikala itu.
Dalam kebingungan yang tiada henti, adinda Epan Dian, adikku satu- satunya berkata ” mak sakik perauk di Pametik malam tadi, ahai ujah dak mungkin nganta boleik, pagi ado kesempatan kalua” ungkapnya dalam dieleg Sungai Tutung.
Semenjak adinda memutuskan berladang di Ranah Pametik, Ibunda senantiasa mendampingi dan memapehnya, tekad ini sudah disampaikan kepada semua anak-anaknya. Saya pribadi sempat protes karena ladang adinda cukup jauh untuk ditempuh, namun ibunda tetap saja tak mau membatalkan niatnya.
“Ogi, kasihan epan, nyo tidak mau sekolah sepertimu, mak tidak menganjurkan nyo baladang, mak sempat melarang tapinyo tetap melnjutkan tekadnya, biarlah mak membantu, mak harus adil dengan iko adik beradik”, saya pun berkata “ladang nyo jauh kalo sakit cgik manan mak”, ibunda nenjawab ” mak membawa persiapan perbekalan obat-obatan insyaallah aman” ungkapnya sambil nenatap saya kala itu.
Melihat kondisi ibunda yang semakin parah, sayapun bergegas mencari carteranmobil untuk mengantarkan ibunda menuju Rumah Sakit, di dalam mobil selama beberapa saat ibunda dalam keadaan antara sadar dan tidak sadar, Tepat di depan Panti Asuhan Putra Aisyiyah Sumur Anyir, ibunda tersadar namun dalam keadaan tak berdaya, lantas dirinya merangkul erat leherku sambil meneteskan air mata mak berkata” nak sabar ya nak, mak berangkat” sebuah kalimat yang sampai hari ini masih terngiang ditelingaku.
Sesampai di rumah sakit, pertolongan dari dokter danparamedis menyambut kami” sang ayah yang dikala itu bekerja tiba- tiba sudah ada disamping saya, ibunda yang kala iti saya suapi untuk memakan bubur nenghentikan tangan saya yang ingin memasukan bubur ke mulutnya, ibunda langsung menjabat tangan ayahana lalu berjakat ” pak kalu mal ado salah, mak minta maaf yo?” ayahananda yang terlihat linglung disaat itu membalas ucapan ibunda lalu berkata “moklah cinak ituh, kito berobat mini, semangat bae untuk sembuh”.
Setelah mendapatkan pertolongan pertama di ICU, ibunda langsung di dorong menuju ruangan perawatan,melihat kondisinya yang mulai membaik, istighfar, syahadat dan kalimah thayibah tak henti diucapkannya kala itu, melihat kondisinya yang mulai kuat, saya memutuskan untuk pulang ke rumah guna menjemput perlengkapan tidur dan sejumlah pakaian yang tidak sempat terbawa.
Sekembalinya saya ke rumah sakit, nak ngah saya lihat menangis, hati kecil ini mulai gelisah, sambil bergegas saya lihat ibunda sedang dikelilingi dokter dan tim medis, lalu dokter mendekati saya dan berkata” dek ibunya udah gak ada, kami sudah berusaha, yang sabar ya”.
Mendengar kata itu, tubih terasa lemas, air mata tak kuasa jatuh membasahi bumi, tanpa pikir panjang saya dan adik saya memeluk erat tubuh kaku ibunda, sedangkan ayahanda diam menatung seolah tak sanggup mengucapkan kata, mata sayunya terlihat menyucurkan airmata, kecupan demi kecupan tak henti-hentinya kami daratkan ke kening ibunda”,sambil melafazkan Innalillah Hiwaiina Ilaihhirojiu’un, saya ambilkan kain panjang lalu saya tutup wajah wanita yang air susunya mengalir menjadi darah dalam diri saya.
Selang beberapa saat, saya menghubungi kakak saya yang saat itu berada di luar daerah guna mengunjungi keluarga kami di Rejang Lebong.
Tak lama berselang, tubuh ibunda yang kaku itu, dibawa masuk ambulance, sirine ambulance senada dengan isak tangisan yang tak hentinya bercucuran.
Sampai di rumah kami langsung dirangkul dan ditenangkan oleh tetangga dan sanak saudara. Hingga ke esokan harinya ibunda dimandikan saya, kakak, adik saya menyelenggarakan prosesi pemandian, penyelenggaraan sholat jenazah, menggotong dan memekan jasad wanita yag jasanya takkan mampu kami balas.
Selamat jalan ibunda, menghadaplah sebagai jiwa yang diridhoiNya.
Asmita Bin Saimi, Wafat Kamis Malam Jum’at 28 September 2017 Jam 19. 15 antata maghrib dan Isya dalam usia 53 Tahun. Allah SWT lebih menyayangimu.