PILKADA INDONESIA DAN BAHAYA KONSPIRASI HITAM KOMERSIALISASI ISU SARA

SUNGAI PENUH- Indonesia merupakan negara yang hidup dalam berbagai Budaya, ras, Agama, suku, adat istiadat dan norma yang  luhur yang sudah tertata sebagai wujud dari khazanah kekayaan budaya Bangsa. Menyadari hal tersebut, Tokoh terkemuka bangsa Indonesia era perjuangan, merumuskan dasar berpijak bangsa  yang selanjutnya dibingkai dalam butir  PANCASILA dan Undang-undang Dasar 1945.

Pada sejarahnya Pancasila dirumuskan oleh BPUPKI disaat Sidang diselanggarakan pada tanggal 28 Mei 1945-1 Juni 1945. Perumus Pancasila itu sendiri adalah Ir. Soekarno, M.Hatta, Soepomo, M.Yamin dan KH. Abdul Wahid Hasyim.

Dalam rangka menyatukan kekayaan budaya bangsa Indonesia, Pancasila mengedepankan prinsip berbeda-beda tapi satu jua. Yang artinya bangsa Indonesia menghargai  setiap budaya, Agama dan ras yang ada di bumi pertiwi dengan mengedepankan prinsip tolerensi.

Dalam pelaksanaanya, setelah reformasi tahun 1998 yang menumbangkan penguasa dikala itu, sistem politik di Indonesia secara terbuka megedepankan prinsip Demokrasi, yang secara umum berarti kedaulatan berada pada rakyat. Dalam artian luasnya demokrasi berarti rakyat diberikan hak penuh untuk menentukan nasipnya, selama tidak bertentangan dengan idiologi dan undang- undang yang berlaku di dalam negeri.

Pasca reformasi, pemilihan Kepala Daerahpun tidak lagi dipilih oleh anggota DPRD, hal ini ditandai dengan berlakunya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan Kepala Daerah (PILKADA).

Dewasa ini Pilkada sudah diselenggarakan sebagai sebuah tradisi 5 tahunan yang diikuti oleh semua Daerah yang berada dibawah naungaun NKRI. Dalam perkembangannya proses Pilkada di Sejumlah Daerah rentan dengan berkembangnya isu-isu yang mampu meruntuhkan nilai karakter bangsa, seperti Kampanye Hitam, Politik Uang dan  isu penjualan isu SARA yang kesemuanya bertentang dengan prinsip Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

Di sebagian Daerah di Tanah Air, isu SARA sering dimanfaatkan oleh sejumlah oknum elit politik untuk menangguk simpati dan empati dari rakyat guna meraih sejumlah suara disaat Pilkada, Pileg dan Pilpres sekalipun. Hal ini secara nyata melanggar Uu No 40 Tahun 2008 tentang penghapusan Diskriminasi ras dan etnis.

SARA itu sendiri merupakan singkatan dari Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan, hal ini juga dijelaskan Dalam Pasal  28 ayat 2 UU ITE pada bagian akhir  kalimat dimana SARA dijelaskan sebagai, Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan disingkat sebagai (SARA).

 Isu SARA sering kali dikemas secara menarik dan politis sehingga mampu membakar emosi dan membuat rasa benci suatu kelompok kepada kelompok lainnya. Hal ini dilakukan semata- mata hanya demi memenuhi hasrat pribadi dan kepentingan golongan tertentu yang biasanya bersifat politis. 

Kepiawaian sejumlah oknum tokoh politik yang berjejer di tingkatan elit dalam mengolah dan mengemas isu SARA, seringkali diterima secara bulat- bulat oleh tatanan masyarakat akar rumput tanpa perlu lagi berpikir panjang. Kondisi ini biasanya akan kian diperparah  dengan tumbuhnya semangat sukuisme dan fanatisme secara berlebihan yang lebih mementingkan keutamaan golongannya.

Tak khayal, perlakuan sejumlah oknum politik ini sama artinya dengan menghantam prinsip kebinekaan dan keberagaman sosial yang sudah lama terbina di tatanan masyarakat marjinal.

Hal ini dikarenakan dampak yang ditimbulkan olehnya, akan berpotensi menimbulkan kesenjangan sosial antar masyarakat yang ditandai dengan meningkatnya potensi konflik dan kekerasan verbal sebagi klimaks dari tumbuhnya semangat fanatisme dan sukisme secara berlebihan.

Hal ini sebenarnya sudah di antisipasi oleh pemerintah dengan diterbitkannya undang-undang nomor 11 tahun 2008  pasal 28 ayat 2 tentang Transanksi ITE dan Undang-undang nomor 40 tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis.

Namun dalam prakteknya Isu SARA selalu saja diolah sedemikian rupa dengan dalih dan alibi yang bermacam- macam.

Tindakan mengkomersilkan isu SARA untuk tujun politis yang indsidentil tersebut, jelas bertantangan dengan Undang-undang negara dan prinsip kebhinekaan bangsa Indonesia, sebagai bangsa yang menjunjung tinggi prinsip toleransi dan keberaragaman bangsa.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perilaku sejumlah oknum elit politik tersebut, merupukan wujud nyata dari penghianatan terhadap Bangsa dan negara. Selain itu  Cara licik dan picik tersebut juga merupakan tindakan nyata yang memghambat kemajuan bangsa Indonesia.  (Sekretariat, Adm Mds: OS).

TAFYANI KASIM | CALON BUPATI KERINCI 2024 – 2029