KERINCI- Tertulislah sebuah cerita yang terlahir dari rasa gulana, telunjuk adalah penanya, darah adalah tintanya dan biarkan air mata yang akan mengiringi proses penulisannya. Berikut ulasannya:
Pasrah, adalah ungkapan yang tak bisa dibantah setelah mimpi tak bisa terbukti, Ibarat Guntur menabrak bumi, bak badai menerjang daratan. Begitulah analogi jiwa yang tepat untuk mendeskripsikan perasaan kala itu.
Sore itu, dikala senja menjemput fajar di Jalan. M.Yamin Nomor 06 Sungai Penuh, Mahdi Thaib, Helmi Edisa, Jafrial, DPT, Mamok, Suntari, Wahidin, Ogi dan kawan-kawan lainnya, berhimpun di posko sembari menanti kabar berita dari Jakarta.
Tak ada Hp yang tak berdering, menerima panggilan dari pemilik nomor berujung 41, ya itu nomor Pak. Des, yang kala itu didera kecemasan yang teramat dalam, hingga langkahnya tertahan untuk berhimpun di lantai II posko Sungai Penuh.
Kabar diterima melalui siaran langsung dari media Facebook (FB), tampak jelas semua wajah terlihat kaku, pucat dengan sorotan mata kosong tak menyala. Raut kecewa seolah pasrah namun tak rela terlihat kontras dengan kondisi yang sebelumnya.
Pak Helmi (sapaan saya), Langsung merebahkan badannya dengan meletakkan semacam sapu tangan dimatanya, sementara tas laptopnya diletakkan untuk menyanggah kepalanya, namun saya tahu, pak Helmi tidak benar-benar sedang tertidur, adapun Pak Mahdi dan Pak Jafrial menyandarkan tubuhnya di lemari ruang tamu posko, sambil terdiam, mulut mereka seolah terkunci kala itu, Bang Suntari, terlihat tertunduk sambil mengelus keningnya, posisi duduknya separoh bersila dengan posisi kaki kanannya terlihat lebih tinggi dari kaki kirinya, di sudut ruangan, tepat disudut Utara pintu jalan menuju dapur ada Wo Tok (Panggilan Akrab kami untuk Bang Wahidin), Terlihat tertunduk diam air matanya terlihat menetes tepat di celana jeans berwarna biru yang dikenakannya saat itu, adapun saya selaku anggota termuda saat itu, merupakan yang agak anarkis saat itu, saya memilih posisi tengkurap, karena malu jika mata saya terlihat basah dengan cucuran air mata, kaki saya saat itu tanpa saya sadari menendang lantai posko, disaat saya masih dalam kondisi tengkurap, herannya tak ada satupun yang menegur saya kala itu. Tapi saya masih bersyukur, karena semua emosi tim masih terkendali.
Kebetulan saat itu Mamok, berada di lantai satu posko, jadi saya tidak bisa menggambarkan perihal kondisinya saat itu. Setelah sekian berlalu, semua tim bingung dalam menentukan arah, dibagian inilah saya akan menggali maksud dari judul saya kali ini yaitu:
” Fatamorgana di Ujung Senja”.
Dua fenomena alam yang biasa terjadi, dimana fatamorgana berarti suatu keadaan yang terlihat ada namun hakikatnya tidak ada ( ilusi optik) yang biasa terjadi di Padang luas. Kemudian senja adalah kejadian alam dimana posisi matahari sudah hampir tenggelam namun pembiasan cahayanya masih wujud dalam bentuk cahaya berwarna kemerahan, senja terjadi disaat detik-detik sore menuju malam. Senja juga merupakan kode alam, pertanda siang yang terang benderang akan berganti menjadi gelap (malam).
Kondisi kedua fenomena alam ini, serasi dengan kondisi sebagian Relawan HTK yang sudah menentukan sikap politiknya. Keberadaannya terlihat ada, namun Hakikatnya tidak ada, hal ini dibuktikan dengan seringnya sebahagian tim HTK kembali ke sekretariat, untuk mengadukan rasa kecewa mereka kepada tim yang berada di sekretariat.
Kondisi ini bisa terjadi karena beberapa fsktor, diantaranya adalah: Sebahagian tim kita belum bisa beradaptasi dengan kondisi baru, atau kandidat yang dituju tidak satu persepsi dengan mereka, bahakan mungkin ada faktor lain di luar itu yang kita tidak ketahui. Kebanyakan diantara mereka biasa mengeluh dikarenakan merasa tidak dianggap dan tidak dihargai oleh tim atau kandidat yang menjadi tempat berlabuhnya mereka. Semua faktor dan kemungkinan bisa saja terjadi.
Kondisi seperti ini tentunya sangat disayangkan, mengingat rentan waktu menuju hari pencoblosan tidak akan lama lagi, kondisi inilah yang mempengaruhi imajinasi penulis untuk meminjam kata Ujung senja.
Kondisi senacam ini tentunya membuat rasa kekeluargaan tim HTK bangkit, karena semua tim HTK sekama ini sudah dianggap seperti keluarga, jika satu yang sakit maka semuanya akan merasakan sakit. Namun jika ada oknum kecil Tim HTK yang tidak merasakan sakit, bisa kita duga bahwa dirinya tidak sepenuhnya menjiwai kebersamaan tim.
Menanggapi laporan tim yang secara lugu bercerita, membuat emosi seolah memuncak, karena mayoritas Tim HTK tidak senang apabila ada keluarganya diperlakukan demikian.
Bersdasarkan keterangan sebagian tim, mereka mengatakan, kami hadir ditempat mereka, namun mereka sama sekali tidak hiraukan kami, padahal mereka yang ngotot mengajak kami bergabung bersama mereka, apapun akan mereka penuhi, tapi saat ini kenyataan nya sungguh berbeda, ungkap salah satu tim yang tidak mau disebutkan namanya.
Namun yang harus dipahami bersama adalah, perlakuan ayah kandung tetap berbeda dengan perlakuan ayah tiri. ( Sekretariat, Adm Mds: OS)